
Kredit Foto : Dokumen Pribadi
1/
Pak Arif tampak sibuk beres-beres, tepat saat rombongan kami sampai di warung miliknya yang masih satu kawasan dengan Sumber Umbulan yang berlokasi di Karangploso, Kabupaten Malang Jawa Timur. Terlihat sepasang muda-mudi tengah asik mengobrol sembari menyantap makanan. Tak mau ketinggalan, kami mengambil tahu bakso yang terhidang di meja warung. Masih dalam keadaan mengunyah, Sem berujar, kalau dua orang itu merupakan anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) asal kampus ternama yang ada di kota Malang. Ia melanjutkan bahwa memang sejak konflik pecah antara warga dan pengembang properti terjadi, Sumber Umbulan kerap dikunjungi jurnalis, terutama dari kalangan mahasiswa.
Sayang sekali, belum sempat Sem melanjutkan, Pak Arif sudah menghampiri kami duluan. Sambil menyodorkan plastik hitam, ia mempersilahkan kami untuk berenang. Mendengar itu, kami bergegas meninggalkan warung dan mulai menuju mata air. Beberapa langkah dari warung, kami disambut dengan turunan yang lumayan curam dengan rindang pepohonan serta tanaman hias di sisi kanan-kirinya. Perjalanan yang tak terlalu panjang, sebab hanya beberapa menit berselang kami akhirnya sampai di mata air.
Pemandangan pertama yang saya lihat waktu itu adalah kolam yang dikelilingi kebun, atau orang Jawa biasa menyebutnya sebagai “barongan”. Saya dan Fikri langsung menuju pendopo di samping kolam buat istirahat sambil menaruh barang bawaan. Sementara Sem memilih menuju bibir kolam dan mulai membuka plastik yang ternyata berisi pelet ikan. Saya dan Fikri menyusul setelahnya.
Kami bertiga larut dalam obrolan yang tadi sempat terputus. Sem bercerita banyak soal seluk beluk sumber Umbulan dan bagaimana mata air ini begitu berharga bagi warga. Baik dari segi lingkungan, maupun kebudayaan. Lestarinya mata air umbulan sama halnya mengamankan kebutuhan akan air bagi warga kedepannya. Dari segi kebudayaan juga demikian, lestarinya mata air ini berarti menyelamatkan warisan budaya di masa lalu.
Gerimis tiba-tiba turun secara perlahan. Kami memutuskan buat beranjak mengelilingi kolam. Pandangan saya tersita oleh situs batu dengan sarung dan payung khas zaman kerajaan dan gapura dengan ornamen kerajaan Jawa kuno. Persis, Sumber Umbulan bukan mata air biasa. Lalu pandangan saya teralih pada anak-anak yang tengah asik bermain air.
Baca Juga : [ARSIP] Teks Wawancara Terkait Pagelaran Seni Teater Spilir
Saya membatin, selain orang dewasa, mereka lah yang akan mendapat getir apabila terjadi sesuatu yang menyangkut kelestarian mata air Umbulan. Saya mulai mengarahkan kamera ke arah mereka, bermaksud mengabadikan momen. Melihat gelagat itu, anak-anak tampak antusias. Mereka mulai berpose alakadarnya, bahkan sempat mengajak saya dan rombongan untuk bergabung. Kami tentu mengiyakannya tanpa tapi.
Semua terasa menyenangkan, meski itu hanya berlangsung sebentar saja. Sebab selain waktu yang semakin sore, hawa dingin dan hujan deras yang seketika mengguyur, memaksa kami untuk berpisah. Satu per-satu anak-anak mulai meninggalkan kolam untuk pulang ke rumah. Sementara rombongan kami yang mulai lapar memutuskan buat kembali ke warung Pak Arif.
Saat kami tiba, warung tampak ramai, kali ini oleh rombongan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) asal kampus ternama yang ada di Kota Malang. Kedatangan rombongan yang sebegitu banyak, membuat Pak Arif yang sedang sendiri sedikit keteteran. Maka kami putuskan untuk membantu sebisanya. Pak Arif menyiapkan pesanan, sedang kami membantu mengantarkan.
Kerja sama itu membuat beban kerja yang semula berat menjadi ringan tak terasa. Satu inisiatif berbalas seribu kebaikan. Sebagai wujud rasa terima kasih, Pak Arif memberi kami makan lengkap dengan kopi secara cuma-cuma. Sempat kami menolak, tetapi ia masih kekeh menawarkan. Membuat kami yang mulai kedinginan dan lapar menerimanya dengan tangan terbuka.
Hujan turun semakin deras dan menciptakan genangan. Satu persatu warga mulai melipir ke warung mencari aman. Dari saling sapa, tiga warga termasuk di dalamnya, Pak Arif saling bertutur tentang seluk beluk sumber umbulan. Mulai bagaimana sumber umbulan sebelum dipugar, asal usul ikan, sampai upacara adat yang biasa dilakukan warga. Kami hanya fokus mendengarkan, tanpa sekalipun berusaha menginterupsi.
Cerita itu melengkapi apa yang dituturkan Sem pada saya sebelumnya. Menarik, karena kali ini cerita dituturkan oleh warga yang notabene punya ikatan langsung dengan Sumber Mata Air Umbulan. Meski tak sekalipun membahas konflik yang tengah mereka hadapi, cerita yang mereka tuturkan membuat saya membayangkan apa yang akan terjadi jika sumber mata air ini tak lagi lestari. Dari lubuk hati paling dalam, saya masih ingin mendengar mereka bercerita. Namun hari yang mulai malam memaksa kami segera beranjak meninggalkan tempat.

Kredit Foto : Dokumen Pribadi
2/
Momen saat saya mengunjungi Sumber Mata Air Umbulan membuat saya penasaran dengan perkembangan kasus sengketa antara warga dan pihak pengusaha properti. Saya memilih jalan penelusuran mandiri lewat internet. Ternyata sudah banyak artikel/berita yang mengangkat topik terkait. Terakhir, saya menemukan informasi pertemuan antara warga dan stakeholder terkait dalam rangka membahas perihal penyegelan perumahan yang tak kunjung dilakukan pihak Pemkab. Dan tak ada kabar lanjutan usai pertemuan itu.
Hal berharga sekaligus membahagiakan yang saya dapat dari penelusuran itu ialah gaung solidaritas bagi warga Sumber Umbulan yang terbilang cukup deras. Itu dapat diamati dari berbagai tulisan yang saya temukan. Bukan hanya dari kalangan mahasiswa, NGO, dan juga pers. Melainkan juga dari kalangan akademisi dan budayawan. Seluruhnya kompak untuk bergabung dalam satu barisan bersama warga yang tengah memperjuangkan kelestarian Sumber Mata Air Umbulan.
Avram Noam Chomsky pernah menulis, seorang intelektual secara khusus punya hak istimewa : keistimewaan melahirkan kesempatan dan kesempatan melimpahkan tanggung jawab. Seorang individu lantas punya pilihan. Dalam konteks penyelamatan Sumber Mata Air Umbulan, apa yang dilakukan oleh sebagian besar elemen yang tergabung bersama gerakan warga sudah merupakan tanggung jawab intelektual paling paripurna. Mengesankan, terlebih di zaman yang serba-serbi seperti sekarang, keberadaan intelektual yang berpihak ternyata bukan mitos belaka. Tetapi benar-benar ada dan nyata.
Baca Juga : [ARSIP] Diskusi dan Bedah Buku Sekolah itu Candu
Saya bukan tokoh intelektual. Tak lagi berada dalam komunitas atau organisasi. Apalagi punya penguasaan terhadap alur sengketa yang terjadi. Namun pengalaman saat mengunjungi Sumber Mata Air Umbulan membawa saya pada kesadaran untuk berada satu langkah di belakang warga.
“Wariskan mata air, bukan air mata”
Bagi saya, kalimat yang menjadi tagline perjuangan warga itu bukan sekedar slogan belaka. Di balik itu terselip makna bahwa perjuangan menjaga kelestarian Mata Air Umbulan sama halnya merawat warisan lintas generasi. Terutamanya akses terhadap air bersih sebagai salah satu penopang kelangsungan hidup warga saat ini dan yang akan datang. Lebih-lebih sumber Mata Air Umbulan juga merupakan warisan budaya yang erat kaitannya dengan identitas kultural warga asli. Maka dalam konteks ini, kelestarian Sumber Mata Air Umbulan merupakan harga yang tak boleh ditawar lagi.
Menutup catatan ini, saya ingin berterima kasih kepada Sem yang telah memperkenalkan Sumber Mata Air Umbulan kepada saya. Terutama dan yang paling terpenting adalah Pak Arif dan warga sekitar. Terima kasih sebesar-besarnya atas kehangatan yang tercurah pada kami, kala itu. Saya seperti manusia lain, seseorang dengan daya ingat yang terbatas. Namun memoar ini, meski tidak seberapa, semoga akan menjadi pengingat saat waktu benar-benar menggerus ingatan saya.***
One comment
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.