Kartini di Mata Pramoedya Ananta Toer

Sumber Foto : National Geographic


Nama Kartini kerap dikenal sebagai pejuang pendidikan dan emansipasi perempuan. Di awal kemerdekaan, kiprahnya itu memicu perdebatan di kalangan intelektual nasionalis. Golongan pertama, mendesak agar identitas kepahlawanan segera disematkan terhadap sosok Kartini mengingat kontribusinya dalam memajukan agenda kaum perempuan. Sementara bagi golongan kedua, Kartini dan kiprahnya tidak lebih dari mitos bikinan pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

Pramoedya Ananta Toer merupakan satu intelektual yang mengambil sikap konfrontatif terhadap golongan yang masih ragu terhadap kiprah Kartini. Tiga tahun sebelum Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Soekarno lewat Kepres No. 160 tahun 1964, Pramoedya memimpin tim penelusuran “sedjarah Kartini jang objektif-revolusioner”. Hasil penelusuran tersebut lantas dibukukan dengan judul “Panggil Aku Kartini Saja”. [1]

Terbit pertama kali pada 1962, mulanya buku ini terdiri dari empat jilid. Namun akibat peristiwa 1965 yang sempat menyeret nama Pram, jilid ketiga dan keempat buku ini berhasil dihancurkan tentara. Hanya jilid satu dan dua yang selamat. Oleh penerbit, keduanya lantas disatukan dan diterbitkan pada tahun 2003 dengan judul yang sama.

Buku ini terdiri atas enam bab yang menceritakan latar sejarah, kehidupan pribadi, hingga kondisi kejiwaan Kartini. Masing-masing pokok pembahasan saling berkaitan satu sama lain dan ditulis dengan metode yang sepenuhnya baru. Dalam hal ini, Pramoedya menempatkan surat-surat Kartini sebagai sumber primer. Sedangkan dalam tafsirannya, Pramoedya juga banyak mengutip sumber sekunder yang relevan.

Politik Kolonial Menjelang Kelahiran Kartini

Menjelang kelahiran Kartini, situasi kolonialisme ditandai dengan berakhirnya Perang Diponegoro (1930) yang menguras habis kantung perekonomian pemerintah Hindia-Belanda. Demi memulihkan laju perekonomian yang bangkrut akibat perang, pemerintah kolonial segera menunjuk Van Den Bosch untuk merealisasikan gagasannya terkait sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Dan benar saja, saat tanam paksa diberlakukan, berbagai pencapaian yang cukup gemilang berhasil didapat oleh pemerintah Hindia-Belanda. Meski di balik kegemilangan ada keringat dan darah dari kalangan pribumi.

Hingga lambat laun, kondisi demikian menjadi perhatian tersendiri bagi golongan liberal seperti Eduard Douwwes Dekker (Multatuli), E.S.W Roorda van Eisinga, hingga Dr. Ds. Van Hoevell. Di medan perjuangan masing-masing, ketiganya mendesak pemerintah kolonial agar memperbaiki kualitas hidup rakyat jajahan.

Desakan itu menuai keberhasilannya. Tanam paksa yang semula berbasis paksaan diubah menjadi kerja-kerja yang sepenuhnya membebaskan. Selain itu, birokrasi yang semula keras dan kaku perlahan berubah cair dan lentur. Sekolah-sekolah untuk pribumi dibuka oleh pemerintah kolonial dengan tujuan mendidik calon pegawai birokrasi pemerintah Hindia-Belanda (amtenaar).

Perubahan ini sekaligus menandai transisi era kolonialisme tua menuju era politik etis. Praktik penjajahan tidak sepenuhnya berakhir, malah ia sedang bertransisi ke arah kapitalisme modern yang kita kenal dewasa ini. Alhasil Hindia-Belanda tetap dikenal sebagai negeri jajahan yang memperkaya Belanda dan menentukan perekonomian dunia dengan hasil buminya. Sementara rakyatnya tetap miskin oleh penghisapan lewat kerja-kerja sebagai petani tanpa tanah (buruh tani), atau kuli kontrak. Di titik ini para leluhur Kartini seperti Pangeran Ario Tjondronegoro, Pangeran Ario Hadiningrat dan Raden Mas Ario Tjondronegoro, hingga Raden Mas Adipati Sosroningrat banyak mengusahakan ide kemajuan bagi rakyat pribumi, terutama di lapangan ilmu pengetahuan. 

Bagi Pram, ancang-ancang sejarah yang dimulai dari situasi politik kolonial pasca perang Diponegoro hingga melompat ke peran dan kiprah para leluhur Kartini ini punya andil penting dalam pembentukan sosok Kartini dewasa. Sebagaimana watak patrineal golongan feodal, Kartini amat mengenal dan menghormati para leluhurnya. Terbukti lewat surat-suratnya kepada Estelle Zehandelaar, Kartini beberapa kali menceritakan sosok dan kiprah para leluhurnya dalam mengusahakan ide kemajuan bagi rakyat pribumi. Pelbagai kiprah ini yang kelak akan diteruskan oleh Kartini. Meski dengan penyimpangan terhadap feodalisme serta pandangan yang lebih maju akan unsur-unsur demokrasi modern.

Kelahiran Hingga Kehidupan Pribadi

Kartini lahir di Jepara pada tanggal 28 Rabiul akhir tahun 1808, atau 21 April 1879 masehi. Ayahnya, Raden Mas Adipati Sosroningrat adalah bupati Jepara. Sayangnya struktur masyarakat feodal membatasi sejarah untuk mengungkap siapa ibu kandung Kartini. Kemungkinan ibu kandungnya hanya berasal dari kalangan rakyat biasa. Mengenai siapa yang mengasuh Kartini kecil, Pram hanya menulis jika Kartini kecil kemungkinan diasuh oleh seorang emban yang salah satunya merupakan ibu kandungnya sendiri.

Menjelang remaja, Kartini menyusul kakak-kakaknya untuk masuk sekolah. Sesuatu yang kelak ia sebut sebagai “pengkhianatan besar terhadap adat-istiadat”. Sebab adat istiadat pada saat itu sangat membatasi anak-anak perempuan keluar dari rumah, tidak terkecuali untuk bersekolah. Kartini bersekolah di Sekolah Rendah Belanda yang menjadi satu-satunya sekolah di Jepara kala itu. Di sekolah inilah Kartini remaja mengenal praktik diskriminasi yang didasarkan pada warna kulit hingga status sosial.

Memasuki usia 12 tahun, tiba waktunya bagi Kartini untuk menjalani masa pingitan. Ia ingin sekali memberontak pada adat istiadatnya ini. Hanya saja ia tidak punya cukup daya untuk melakukannya. Maka dengan segala keterpaksaan, Kartini setuju untuk dipingit oleh sang ayah.

Pingitan itu berlangsung selama empat tahun lamanya. Di masa ini, Kartini bertemu dengan berbagai bacaan bagus yang kebanyakan ia dapat dari sang ayah. Setidaknya berbagai bacaan itu mampu membuatnya melupakan apa yang ia tuliskan sebagai “kehidupan yang menjengkelkan”. Masa ini diceritakan oleh Kartini kepada Ny. Abendanon lewat surat panjang tertanggal Agustus 1900 dengan memakai sudut pandang orang ketiga.

Usai bebas dari masa pingitan, Kartini kian tumbuh sebagai sosok yang mengenal dunia Barat dengan baik. Pram hanya menyebutkan tiga jalan yang digunakan Kartini untuk mengenal dunia Barat. Pertama, tentu saja dari panca inderanya. Kedua, melalui observasi hubungan antara kaum pribumi dan orang-orang Barat. Ketiga, dari buku-buku sejarah Barat yang ia baca.

Akan tetapi ternyata segala pengetahuannya tentang Barat begitu kontras dengan dunia pribumi tempat ia hidup. Bagi Kartini, dunia pribumi waktu itu ibarat rimba belantara yang gelap gulita. Sedang ‘terang’ yang dimaksudnya adalah obor-obor yang siap menerangi rimba belantara tersebut. Secara terbuka, Kartini mengakui jika obor-obor itu tak lain adalah intelektualitas Eropa. Sesuatu yang sudah dikuasai oleh bangsa Barat, namun baginya belum dipelajari oleh kalangan pribumi.

Di masa ini Kartini banyak mengenal kiprah intelektual semasanya. Seperti sang kakek Tjondronegoro, ayahnya Sosroningrat, sang abang Sosrokartono, hingga dokter Jawa bernama Abdul Rivai. Mereka inilah yang kemudian menjadi inspirator Kartini dalam memperjuangkan obor-obor agar mampu menerangi dunia pribumi yang gelap gulita. Bahkan jika bukan ia sendiri yang menjadi pemeran utamanya.

Sikap Kartini yang demikian dapat diamati dari penolakannya atas beasiswa sebesar f 4.800 dengan alasan akan kawin. Lewat sebuah surat kepada Nyonya Abendanon untuk diteruskan ke Direktur Pengajaran dan Ibadah, Kartini meminta agar beasiswa  itu diserahkan kepada seorang pemuda Minang yang tingkat kepintarannya di atas rata-rata : Agus Salim. Dalam pernyataannya kepada Nyonya Abendanon, Kartini berujar jika usul beasiswa itu ia ajukan agar kelak Agus Salim dapat bekerja untuk rakyat yang ia panggil sebagai “rakyat kami” (hlm 129).

Kartini dikenal gigih dalam membela rakyatnya dari pandangan orang-orang Belanda. Pernah sesekali ia menulis surat panjang untuk Nyonya Abendanon yang isinya mengkritik pandangan orang Belanda terhadap sastra Jawa. Dalam surat tertanggal 29 Oktober 1902 itu, Kartini marah besar kepada anggapan orang Belanda terhadap orang Jawa bahwa mereka (orang Jawa) adalah pembohong. Dengan mengedepankan sikap objektif, Kartini menulis :

“Tentu saja rakyat kami punya cacat-cacatnya, tetapi juga kebajikan-kebajikannya yang mana “Rakyat-Rakyat berada” dapat mengambilnya sebagai contoh”. (hlm. 99)

Di lapangan kesenian, Kartini dikenal sebagai seorang seniwati yang bergiat di beberapa cabang kesenian. Mulai dari seni batik, seni lukis, seni musik, seni ukir, hingga seni kepengarangan. Selain menampilkan beberapa karyanya, buku ini juga melampirkan beberapa surat Kartini yang khusus meninjau tentang seni. Oleh Pram surat-surat tersebut lantas ditafsirkan sedemikian rupa hingga menghasilkan corak kesenian Kartini sebagai ‘seni rakyat’.

Selain pegiat seni, Kartini juga dikenal sebagai pembaca yang rakus sekaligus resensor buku. Kebiasaannya itu dapat ditelusuri lewat surat yang ditulisnya untuk Estella Zeehandelaar, maupun Ny. Abendanon. Dari beberapa teks ulasan yang dilampirkan Pram, satu surat yang menyita perhatian saya adalah surat Kartini kepada Ny. Abendanon tertanggal 29 November 1901. Surat tersebut berisi ulasan Kartini atas buku “Bartbold Meryan” karya seorang feminis sosialis bernama Cornelie Lydie Huygens. Dengan mengutip cuplikan isi surat tersebut, Pram menyimpulkan bahwa Kartini telah sampai pada revolusi sosialis yang bertujuan merombak tatanan sosial lama dan menggantinya dengan yang baru.

Kartini merupakan tokoh intelektual permulaan yang hidup dalam belenggu feodalisme dan kolonialisme. Kala itu, keberadaan kaum intelektual di Hindia-Belanda jumlahnya sangat sedikit dan juga belum ada organisasi modern yang dapat mewadahi ide dan gagasannya. Selain itu, Kartini juga dikenal sangat menghormati sang ayah. Sedang sikap sang ayah kepadanya terbilang angin-anginan: terkadang ayahnya setuju namun tak jarang pula sang ayah menyatakan ketidaksetujuannya terhadap permintaan Kartini. Dari kondisi sosial politik hingga lingkungan masyarakat feodal inilah yang membuat sisi kejiwaan Kartini kerap mengalami guncangan.

Oleh Pram, sisi kejiwaan Kartini dibahas singkat dalam bab terakhir buku ini. Nyaris sama dengan metode sebelumnya, Pram menafsirkan korespondensi Kartini tentang berbagai hal yang ia tulis dalam surat-suratnya. Seperti keagamaan, keterbatasannya sebagai manusia, cinta, hingga daya observasi dan intelegensi seorang Kartini. Selain itu, tak lupa Pram juga mengutip kondisi kejiwaan Kartini yang ditulis oleh Mr. Abendanon dengan judul “Gedachten Ontleend Aan Niet Openbaargemakte Brieven”, atau “Pemikiran-Pemikiran yang Diambil dari Surat-Surat yang Tidak Diumumkan”. Hanya saja menurut Pram, tulisan tersebut terkesan setengah-setengah dalam mendeskripsikan sisi kejiwaan Kartini.

Paparan mengenai kondisi kejiwaan Kartini dalam buku ini terlampau penting untuk dilewatkan. Sebab paparan ini secara tidak langsung menjawab pertanyaan di masa depan, terutama mengenai sikap Kartini yang kurang konfrontatif terhadap feodalisme dan kolonialisme. Semua tidak lain disebabkan oleh keterbatasan Kartini sebagai pribadi yang hidup di tengah belenggu feodalisme dan kolonialisme. Meski dirundung berbagai keterbatasan, Pram menulis jiwa Kartini masihlah sehat. Bahkan sampai meninggal pun ia tetap mempertahankan integritasnya dalam memperjuangkan nasib pribumi Hindia-Belanda.

Kritik terhadap Pram dan Polemik Kanonisasi Kartini

Membaca buku ini, saya seperti bertemu sosok Kartini lebih dari sekadar perempuan Jawa berkebaya lengkap dengan konde. Lebih dari itu Kartini yang dinarasikan Pram adalah seorang intelektual sekaligus peletak nasionalisme taraf awal. Saya sangat menaruh hormat pada Pramoedya Ananta Toer yang telah mengorbankan waktu dan tenaga demi penyusunan buku ini. Tidak dapat dipungkiri, sebelum buku ini diterbitkan, sejarah Kartini yang eksis pada saat itu ialah sejarah Kartini versi pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

Di mata kolonial, Kartini tidak lebih dari sekadar pejuang pendidikan untuk kaum pribumi. Sayang pendidikan yang dimaksudkan di sini adalah pendidikan Barat dalam konteks politik etis. Narasi Kartini yang demikian lantas dikukuhkan oleh J.H Abendanon lewat penerbitan surat-surat Kartini menjadi buku “Door Duisternich Tot Licht” oleh penerbitan milik kolonial : Balai Pustaka. Oleh Pram, operasi etis pemerintah kolonial terhadap sosok Kartini dibahas di bab kelima buku ini. Tepatnya pada sub-bab “Door Duisternich tot Licht” hingga sub-bab “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Dalam paparannya, Pram menyoroti banyak hal mengenai penerbitan surat-surat Kartini menjadi buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Mulai dari dinamika, penerjemahan, hingga komposisi surat yang ada dalam buku tersebut. Pram menduga adanya unsur politik kolonial di balik penerbitan surat-surat Kartini, terutama jika ditelusuri dari komposisi surat yang dimuat dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Dugaan tersebut tulis Pram, boleh jadi benar sejauh komposisi tersebut bukan pegawai Belanda saja yang menentukan, melainkan dari pemerintah Hindia Belanda lewat Dr. D.A.Rinkes dengan politik penerbitan Volkslectuur (penerbitan murah untuk rakyat Hindia-Belanda).

Selain itu, Pram juga berusaha melengkapi sejarah versi kolonial yang menurutnya setengah-setengah dalam mengisahkan sosok dan kiprah seorang Kartini. Khususnya mengenai sikap Kartini terhadap kondisi sosial politik di mana ia hidup. Dengan sedikit terbatah-batah, Pram memunculkan narasi bahwa Kartini adalah intelektual dengan sikap politik anti feodalisme dan kolonialisme. Pendasaran bahwa Kartini punya sikap anti feodal termanifestasikan lewat suratnya teruntuk sang karib, seorang aktivis feminis sosialis bernama Estelle Zeehandellar. Lewat surat tertanggal 23 Mei 1899 itu, Kartini menulis:

“Panggil aku Kartini saja, itulah namaku.” (hlm 258)

Penggalan surat ini ditafsirkan Pramoedya sebagai sikap penolakannya atas hierarki masyarakat feodal. Sebab penggalan di atas menunjukkan penolakan Kartini atas gelar yang disematkan terhadap namanya. Padahal atribusi seperti gelar dalam masyarakat feodal adalah simbol kedudukan, tata hidup, martabat hingga sentralisme magis. Sikap Kartini yang demikian lantas dikukuhkan oleh Pramoedya lewat pemilihan judul buku ini.

Berbeda dengan itu, sikap anti kolonialisme Kartini tidak digambarkan dengan begitu jelas oleh Pram. Pram hanya menunjukkan bagaimana sikap nasionalisme taraf awal yang dimiliki Kartini perlahan mulai terbentuk oleh observasinya terhadap dunia Barat dan dunia Pribumi tempat ia hidup. Mula-mula ia membelah bagian dunia menjadi dua yakni dunia Barat dan Timur. Dunia Barat yang dimaksud Kartini tiada lain adalah Eropa, Sedangkan Timur baginya adalah  Jawa.

Perkembangan taraf kesadaran nasional Kartini baru terjadi saat ia keluar dari masa pingitan dan bertemu kalangan intelektual pribumi yang lain. Dari yang hanya menyebut masyarakat Jawa, Kartini lantas membayangkan komunitas yang lebih besar yaitu pribumi Hindia-Belanda (Indonesia modern). Sedangkan keberpihakannya terhadap nasib pribumi Hindia-Belanda, menandakan Kartini seorang nasionalis. Sikap politik yang tidak dimiliki golongan feodal dan bertentangan dengan politik pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada saat itu. Maka selain anti-feodal, sikap politik Kartini juga anti-kolonial.

Meski demikian, buku ini nyatanya belum memberikan fakta sejarah Kartini yang objektif sebagaimana klaim Pramoedya. Malah menurut saya, buku ini patutnya dianggap sebagai tafsir Pramoedya atas sosok dan kiprah perjuangan Kartini. Mengapa?

Anggapan tersebut tidak terlepas dari fakta adanya hal-hal yang masih layak digugat ulang. Mengenai anasir misalnya, Pramoedya belum menyentuh hal elementer seperti otentisitas surat-surat yang banyak dikutipnya pada buku ini. Padahal penerbitan surat-surat tersebut seluruhnya dikomandoi oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Tentu tidak menutup kemungkinan jika surat-surat Kartini itu sengaja ditulis oleh pemerintah kolonial. Kemungkinan ini jugalah yang membuat seluruh klaim Pramoedya atas Kartini patut dipertanyakan kesahihannya.

Terlebih jika ditilik lebih jauh, berbagai tafsir Pram atas Kartini terkesan terburu-buru. Semisal ketika Pram menyebut corak kesenian Kartini sebagai ‘seni rakyat’. Faktanya dalam hal kesenian, Kartini tidak spesifik membangun teorisasi ‘seni rakyat’. Akan tetapi, Kartini hanya mengurai aktivitas kesenian rakyat pribumi yang sudah ada waktu itu, terutama dari produksi hingga sirkulasi karya-karya seni. Pramoedya menyadari ini, dengan sedikit kompromis ia menulis :

“Memang kurang jelas dan kurang lengkap laporan atau tulisan-tulisan Kartini tentang konsep seni rakyat. Mungkin karena surat-suratnya — sejauh yang diselamatkan Abendanon tidak tertuju pada seniman, mungkin juga ia tidak mempunyai cukup istilah untuk persoalan-persoalan seni tapi sudah pasti sedikitnya bahan tentang ini mengurangi pengetahuan orang untuk mengetahuinya secara jelas”. (hlm 185)

Tafsir Pram yang terkesan terburu-buru juga dapat diamati dari klaimnya atas gagasan emansipasi Kartini. Kartini merupakan pembaca buku berjudul “Bartbold Meryan” karangan seorang Feminis Sosialis bernama Cornelie Lydie Huygens (1848-1902). Mengenai buku tersebut, Kartini menulis :

“Kami pun tahu, sebagaimana halnya dengan Barthold Meryan, apa yang akan terjadi jika kami berlutut di hadapan altar daripada kebutuhan-kebutuhan rohani kami yang paling mesra, sebuah altar yang dapat berdiri hanya di atas puing-puing segalanya, yang dianggap paling kudus dan paling tersayang”. (hlm 169)

Dengan mengutip isi surat tersebut, Pramoedya menyatakan jika Kartini telah sampai pada revolusi sosialis. Padahal faktanya isi surat tersebut terbilang abstrak, Kartini bahkan tidak mengelaborasi lebih jauh tentang revolusi sosialis. Cukup mengherankan memang, terlebih jika dikaitkan dengan fakta bahwa surat tersebut ditujukan kepada Ny.Abendanon selaku aparatus pemerintah Hindia-Belanda. Apabila surat tersebut memuat cita-cita sosialis, tidak mungkin Ny.Abendanon akan meloloskannya. Sebabnya surat itu hanya akan menjadi bumerang bagi politik pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

Kekurangan ini sekaligus menuntut adanya penggalian lebih jauh terhadap sejarah hidup Kartini. Terutama oleh kalangan akademisi dan peneliti sejarah yang berkomitmen terhadap perkembangan sejarah nasional. Mengingat sejak era kolonial hingga saat ini, belum ada sejarah Kartini yang benar-benar objektif. Adanya malah narasi kepahlawanan Kartini yang dimodifikasi sedemikian rupa hingga sejalan dengan tafsir kepentingan kekuasaan yang berlaku. Dalam arti khusus, pola inilah yang disebut Zen RS lewat esainya “Serial Kontroversi Kartini” sebagai politik kanonisasi Kartini.

Istilah kanon berasal dari bahasa Yunani yang berarti “buluh” atau “tongkat”. Di kemudian hari, istilah ini mewujud seperangkat aturan atau hukum yang menyangkut standar seleksi. Secara praktik politik kanon dalam konteks pengetahuan sejarah berarti berkutat pada versi sejarah mana yang patut dilestarikan lewat pengajaran ilmu sejarah. Dengan begitu narasi sejarah versi lainnya tidak layak masuk pengajaran ilmu sejarah. Dalam konteks sejarah hidup Kartini, politik kanon yang justru dimulai oleh pemerintah kolonial malah terus dilestarikan oleh rezim pasca kemerdekaan.

Jika oleh pemerintah kolonial Kartini dinarasikan sebagai keberhasilan politik etis, maka di era Orde Lama sosok Kartini dimodifikasi sedemikian rupa hingga menghasilkan Kartini sebagai perempuan revolusioner yang anti-feodalisme dan anti-kolonialisme. Dua sikap politik yang pada saat itu sedang gencar-gencarnya dipromosikan oleh Soekarno dan kalangan intelektual kiri. Jatuhnya Orde Lama digantikan Orde Baru juga menandai perubahan atas narasi kepahlawanan Kartini. Selain menyunting ulang sejarah Kartini, Orde Baru juga memodifikasi identitas ke-ibu-an Kartini agar selaras dengan politik yang politik “ibuisme negara” yang diberlakukannya [2]. Alhasil Kartini yang mulanya dinarasikan demikian revolusioner di era Orde Lama, disulap sedemikian rupa oleh Orde Baru menjadi Kartini sebagai ibu dengan kewajiban utama bekerja di ranah-ranah domestik (dapur, sumur, kasur). [3]

Jatuhnya Orde Baru dan dimulainya reformasi nyatanya belum mengakhiri politik kanon atas narasi kepahlawanan Kartini. Narasi kepahlawanan Kartini versi Orde Baru, masih dipatenkan dalam kurikulum pengajaran sejarah. Sedangkan narasi lain seperti versi Pramoedya Ananta Toer ini harus kita cari secara mandiri. Dampaknya kita rasakan sekarang: sosok dan kiprah Kartini dikerdilkan lewat pakaian adat yang dikenakannya atau identitas keibuan dengan tanggung jawab utama melaksanakan kerja-kerja domestik. Ironisnya lagi hal semacam itu kerap dirayakan secara momentual lewat peringatan Hari Kartini setiap tahunnya.

Kondisi demikian menuntut pemerintah untuk segera mereformasi kurikulum pengajaran sejarah yang akomodatif terhadap narasi kepahlawanan Kartini yang berkembang dewasa ini. Selain menghindari politik kanon atas Kartini, langkah tersebut diharapkan mampu mendorong penelitian sejarah Kartini yang benar-benar objektif. Untuk menemukan sejarah Kartini yang demikian, dibutuhkan penelitian yang mampu membuktikan otentisitas surat-surat Kartini. Baik yang sudah diterbitkan maupun yang sedang ditelusuri keberadaannya. Tanpa itu, penelitian tentang sejarah hidup Kartini hanya akan melahirkan tafsir penulisnya dan karenanya patut diperiksa lewat pembacaan seksama.

***


Sumber Gambar : Carrousel


Judul : Panggil Aku Kartini Saja

Penulis : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit : Lentera Dipantata

Cetakan : I, 2003

Tebal : 304 halaman

ISBN : 979-97312-11-6

Rujukan :

1. Baca esai “Kartini Berapi” karya Muhidin M. Dahlan : https://muhidindahlan.radiobuku.com/2013/04/22/kartini-berapi/

2. Suryakusuma, Julia. 2011. Ibuisme Negara : Konstruksi
Sosial Keperempuanan Orde Baru, Jakarta : Komunitas Bambu.

3. Baca esai “Serial Kontroversi Kartini” karya Zen RS :
https://kurangpiknik.tumblr.com/post/615973064626356224/serial-kontroversi-kartini