Catatan Satu Tahun Rumah Mahasiswa Merdeka

Kredit Ilustrasi : www.scrumaka.wordpress.com



Bulan April 2020 lalu, Studie Club Rumah Mahasiswa Merdeka (SC Rumaka) memasuki usianya yang ke-1 tahun. Dulu saya pernah punya keinginan untuk menghelat sebuah perayaan kecil di hari ulang tahun pertamanya ini. Perayaan itu berupa panggung seni yang dihadiri dan disemarakkan oleh studi club lainnya. Sangat disayangkan, keinginan tersebut harus saya simpan baik-baik. Sebab, beberapa bulan sebelum memasuki usianya yang ke-1 tahun itu, Rumaka sudah dinyatakan vakum.

Seiring berjalannya waktu, entah mengapa keinginan tersebut kembali muncul. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini saya ingin merayakan hari ulang tahun Rumaka dengan sederhana. Yakni melalui sebuah tulisan yang saya harap bisa memberikan gambaran tentang Rumaka secara keseluruhan. Baik sejarah, maupun kiprahnya dalam satu tahun terakhir.

Rumaka mungkin bisa mati. Bahkan hilang dengan sama sekali. Namun sebagai gagasan, ia akan terus hidup sepanjang zaman. Tidak menutup kemungkinan jika kelak ada gerakan mahasiswa yang mengambil corak, atau bahkan melampaui Rumaka sebagai organisasi.

Untuk mengawali tulisan ini izinkan saya berterima kasih kepada Iwan, Fikri, Fathin, Ivan, Munawir, Andi dan para anggota lain yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Tidak lupa saya ucapkan juga terima kasih sebesar-besarnya kepada para pihak, baik perseorangan maupun organisasional yang selama ini telah terlibat dalam perjalanan satu tahun Rumaka. Sebab mereka-mereka inilah yang selama ini menghidupkan Rumaka. Apa yang akan saya tulis di sini bertolak dari pengalaman pribadi saat saya (masih) bergiat di Studi Club Rumaka.

Sejarah Rumaka sejatinya tidak bisa dilepaskan dari Iwan. Dalam sebuah pertemuan dengan saya pada akhir Maret 2019 lalu, Iwan berujar jika ia terinspirasi dengan gerakan mahasiswa yang ada di kota Yogyakarta. Di mana gerakan mahasiswa progresif yang ada di kota tersebut lebih inklusif dan terorganisir cukup baik melalui wadah bernama studi club. Kecenderungan yang menurut Iwan sangat berbeda dengan gerakan mahasiswa yang selama ini sangat mengutamakan ego sektoral.

Kepada saya, Iwan terus menerus menceritakan hal yang sama. Mulai dari bagaimana para mahasiswa asal kampus di Jogjakarta mendirikan studi club, mengorganisir masa, maupun meletupkan agenda-agenda advokasi sosial. Perlahan cerita-cerita tersebut mulai menarik perhatian saya. Sampai pada akhirnya, saya menawarkan sebuah opsi kepada Iwan bagaimana jika kami mendirikan studi club di Kota Malang.

Mendengar tawaran itu, Iwan nampak antusias. Dengan segera ia menghubungi para koordinator studi club yang ada di Jogjakarta. Setelah mendapat berbagai masukan dari mereka, Iwan mengajak saya untuk berbincang terkait hal-hal yang diperlukan untuk mendirikan studi club. Di titik inilah, segala sesuatunya bermula.

Saya kembali bertemu Iwan di Kedai Nego. Kedai yang kini telah berubah nama menjadi Meeting Coffee. Pada pertemuan itu, Iwan memaparkan banyak hal terkait apa yang dibutuhkan dalam pendirian studi club. Ternyata segala sesuatunya sangat lentur. Sangat bertolak belakang dengan apa yang saya bayangkan sebelumnya.

Setelah sesi itu berakhir, tiba saatnya bagi kami untuk memikirkan nama yang tepat bagi studi club yang akan kami dirikan. Bagian ini saya serahkan sepenuhnya kepada Iwan. Ada beberapa nama yang diajukan oleh Iwan pada waktu itu. Dan yang kami pilih adalah Rumah Mahasiswa Merdeka.

Sesuai kesepakatan awal, saya mendapat bagian untuk mendesain logo Rumaka. Jujur saja, awalnya saya ragu untuk mengerjakannya. Namun Iwan terus meyakinkan saya, bahkan ia menyarankan agar saya menyesuaikan logo Rumaka dengan logo studi club lainnya. Usai melakukan riset kecil-kecilan, saya menemukan beberapa elemen yang cukup dominan dalam logo studi club lainnya : warna merah, hitam, dan bintang kuning.

Semalam suntuk saya mengerjakan logo tersebut dengan berbekal aplikasi yang ada di gadget. Seingat saya kurang lebih ada tiga rancangan. Namun ada satu desain yang akhirnya saya finalisasi. Yakni logo yang masih digunakan oleh Rumaka sampai hari ini: rumah merah menyala dengan latar belakang hitam, serta bintang dan gir di atas atapnya.

Bagi saya, warna hitam menggambarkan kedalaman pengetahuan dan kesadaran. Rumah merupakan titik temu dari pelbagai macam ide dan persoalan, serta merah menyiratkan keberanian untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian. Sementara bintang dan gir mencorakkan kedalaman visi merdeka 100%, dan keberpihakan kepada yang tertindas. Sebagai pengukuhan identitas, saya hanya menyematkan kalimat Rumah Mahasiswa Merdeka berwarna putih.

Segera setelah nama dan logo berhasil dibuat, Rumaka menyelenggarakan Kongres perdananya pada tanggal 04 April 2019 di Kedai Enzo, Landungsari Malang. Selain mendeklarasikan kelahiran Studi Club Rumaka, Kongres tersebut bertujuan untuk menetapkan beberapa keputusan mengenai struktur organisasi, pendanaan, corong publikasi, dan jadwal kegiatan literasi berbasis perpustakaan jalanan.

Putusan-putusan yang dihasilkan oleh Kongres inilah yang kelak membentuk lembaga otonom di internal Rumaka, berikut dengan berbagai fokus agendanya. Bidang diskusi eksternal/internal Rumaka dan Bendahara Umum  — dipegang oleh Fathin Najla. Saya memegang publikasi tulisan di Jurnal Rumaka. Pada bidang videografi, atau Rumaka TV dipegang oleh Ivan dan Ayu selaku editor. Sementara media sosial dan konsolidasi jaringan sepenuhnya diserahkan kepada Iwan. Di satu sisi, saya, Fathin, Ivan, Ayu, dan Iwan, juga diserahi tanggung jawab untuk mengelola Perpustakaan Jalanan Rumaka.

Bersamaan dengan itu, situasi di kampus tengah memanas. Kedatangan Wakil Presiden Jusuf Kalla bersama Megawati Soekarnoputri pada perhelatan Festival Kebudayaan di UMM telah memunculkan kecurigaan di kalangan mahasiswa terkait upaya politisasi kampus. Sebab di saat yang sama, situasi nasional tengah disibukkan dengan agenda pemilihan presiden.

Tak mau kampusnya dipolitisasi, berbagai organisasi kemahasiswaan yang ada lantas berencana melakukan aksi penolakan keesokan harinya, yakni pada 05 April 2019. Kabar tersebut menjadi perhatian tersendiri bagi Rumaka secara organisasional. Seperti sebelumnya, berbekal kertas buku gambar berukuran A4, saya dan Iwan lantas membuat pernyataan sikap Rumaka terhadap perhelatan tersebut. Poster itu kemudian ditempelkan di kampus sebagai aksi simbolik. Baru sore harinya, kami merilis kabar tersebut melalui Jurnal Rumaka.

Dua minggu setelah itu, Rumaka kembali menghelat kongres keduanya. Dalam kongres itu, Fikri akhirnya ditetapkan sebagai Divisi Data Pustaka yang fokus mengurusi agenda Perpustakaan Jalanan. Mulai dari mendata buku yang masuk dan keluar, sampai mengatur seluruh administrasi yang berkaitan dengan Perpustakaan Jalanan Rumaka. Di bawah naungan Fikri, Perpustakaan Jalanan Rumaka akhirnya memperoleh pasokan buku. Sebab ia membuat kebijakan yang mewajibkan para anggota agar menyumbangkan minimal lima buku yang sudah tidak dibaca.

Selain mengukuhkan Fikri sebagai anggota, Kongres kedua ini juga berhasil menetapkan beberapa hal yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan Rumaka dalam waktu dekat. Seperti jadwal publikasi, jadwal melapak bagi perpustakaan kami, dan tema diskusi menjelang peringatan Hardiknas dan Mayday. Berbagai keputusan itu dijalankan dengan cukup baik dan penuh rasa tanggung jawab. Hingga perlahan Rumaka mulai merapatkan diri dalam gerakan sosial yang lebih besar. Rumaka, menjadi salah satu organisasi baru yang ikut dalam serangkaian peringatan Hari Buruh Internasional bersama Aliansi Rakyat Malang Bersatu (ARMB) pada tanggal 01 Mei 2019.

Capaian itu membuat saya tergerak untuk mengasuh Jurnal Rumaka lebih baik lagi. Selain merilis tema  mingguan dan merilis tulisan-tulisan yang masuk — saya juga rutin menerbitkan artikel-artikel yang cukup bernas. Semua terasa berjalan begitu cepat di bulan-bulan berikutnya. Nyaris setiap hari saya menghabiskan waktu berjam-jam di kedai Enzo hanya untuk mengedit dan mempublikasikan tulisan baru di Jurnal Rumaka, berikut dengan pamflet promosi tulisan untuk disebarkan di kanal Instagram Rumaka. Semua saya lakoni dengan satu harapan, yakni agar Jurnal Rumaka semakin berkembang dengan baik.

Perlahan tapi pasti, usaha saya itu mulai menunai hasilnya yang gemilang. Jurnal Rumaka yang sebelumya hanya diisi oleh tulisan para anggota, mendadak menerima banyak tulisan dari kontributor luar. Menurut saya ini merupakan capaian yang sangat luar biasa. Mengingat pada saat itu, kami belum bisa memberikan honorium kepada para kontributor yang tulisannya kami muat di laman Jurnal Rumaka. Akan tetapi, para kontributor tetap setia untuk mengirimkan tulisannya kepada kami.

Semangat para kontributor itu membuat harapan saya pada Rumaka semakin membesar sedemikian rupa. Menjelang Kongres Ketiga Rumaka, diam-diam saya merancang beberapa trobosan antara lain, pendirian organisasi komersil, pengembangan Jurnal Rumaka, dan pembentukan divisi kajian strategis untuk meringankan beban Fathin yang kala itu juga menjabat sebagai bendahara umum SC Rumaka. Dan keseluruhan ide itu disepakati oleh semua anggota pada Kongres Rumaka ke-3 tertanggal 30 Mei 2019.

Lembaga komersil itu pada akhirnya dikelola oleh Andi dan dinamai Rumaka Store. Secara khusus, lembaga ini bergerak di bidang penjualan beraneka macam produk seperti totebag, kaos, dan buku. Keuntungan dari penjualan itu rencananya akan digunakan untuk menggerakkan perekonomian Rumaka, di satu sisi mendanai gerakan sosial di Indonesia. Ada pun persentase yang ditetapkan ialah 10% untuk internal Rumaka, dan 10% untuk pendanaan gerakan sosial di Indonesia.

Untuk menghubungkan Rumaka Store dengan gerakan sosial yang lebih luas, internal Rumaka jelas memerlukan sebuah badan yang meneliti isu-isu kontemporer, sekaligus menjadi penghubung antara Rumaka dan gerakan sosial yang lebih besar. Maka dari itu dikukuhkanlah divisi kajian strategis yang kemudian dikelola oleh Rifki. Dalam kerja-kerjanya Rifki akan dibantu oleh Iwan selalu koordinator SC Rumaka. Hal penting lainnya adalah di titik ini kami menetapkan sejumlah keputusan mengenai jadwal rapat, publikasi karya monumental berupa buku Tan Malaka, dan persiapan mengenai perekrutan anggota, serta pembentukan sayap organisasi pelajar.

Terselenggaranya kongres ketiga ini menjadi hal ihwal yang paling menentukan gerakan Rumaka ke depannya. Menjelang akhir bulan, Rumaka sebagai organisasi yang masih berusia beberapa bulan, kian mendulang berbagai capaian yang layak diperhitungkan. Baik di level kampus, lokal, maupun nasional.

Di level kampus, ada beberapa kali kami terlibat diskusi bersama beberapa Lembaga Pers Mahasiswa serta diskusi bersama komunitas-komunitas di kampus melalui perhelatan bertajuk Akar Fest. Bahkan, Rumaka juga ditunjuk sebagai salah satu pihak yang mempublikasi perhelatan teater Sepilir. Hasil daripada perhelatan-perhelatan itu juga bisa dijumpai di kanal Rumaka TV dan Jurnal Rumaka.

Sama halnya dengan capaian di level kampus. Di level regional, Rumaka sebagai organisasi juga turut terlibat dalam diskusi bertajuk Dunia Soes di Kota Blitar Jawa Timur. Tidak berhenti di situ saja. Perpustakaan Jalanan Rumaka pada akhirnya juga tergabung dalam Aliansi Perpustakaan Jalanan Malang. Wadah yang dulunya diharapkan mampu memfasilitasi kegiatan berbagai perpustakaan jalanan di kota tersebut.

Dua capaian dengan skala yang makin meluas ini, membuat Rumaka berani untuk terlibat dalam gerakan berskala nasional. Sebut saja seperti aksi massa Reformasi Dikorupsi bersama Front Rakyat Melawan Oligarki (FRMO). Atau panggung solidaritas bertajuk ‘SolidariTani’ untuk memperingati Hari Tani Nasional tahun 2019. Bahkan pasca perhelatan itu, Rumaka juga turut terlibat dalam aksi lapak bersama Aliansi Perpustakaan Jalanan Malang, sebagai aksi simbolik untuk bersolidaritas terhadap para korban yang tewas maupun di tahan dalam aksi Reformasi Dikorupsi.

Di sela aktivitas yang demikian padat itu, denyut nadi Rumaka masih begitu kuat di lingkup internalnya. Agenda diskusi formal/informal dengan berbagai tema, terus diselenggarakan dengan cukup baik. Tidak terkecuali, agenda publikasi oleh Rumaka TV dan Jurnal Rumaka. Di titik ini, Rumaka juga mulai mendapat calon-calon regenerasi. Sambil menunggu hasil diskusi bersama kawan-kawan Jogja, para calon anggota Rumaka diasuh oleh Iwan.

Sayangnya di saat yang sama kami harus kehilangan salah satu anggota yang juga punya andil besar dalam sejarah perjalanan Rumaka. Ia adalah Ayu. Ayu memutuskan hengkang dari Rumaka lantaran kesibukan pribadi. Dan kami, seluruh anggota Rumaka tentu saja menghargai keputusan tersebut. Meskipun dengan sangat berat hati.

Kepergian Ayu itu membuat Rumaka memasuki babak barunya. Babak yang bahkan tidak pernah saya perhitungkan dengan baik. Pelbagai aktivitas yang sebelumnya dijalani dengan kecepatan tinggi, mendadak turun signifikan. Tidak ada lagi diskusi, maupun agenda sekecil membuka perpustakaan jalanan. Sementara berbagai proyek pun menumpuk tidak dikerjakan. Alhasil, para calon anggota baru di SC Rumaka melipir satu-persatu.

Kondisi ini membuat saya memutar otak. Satu hal yang segera saya usahakan adalah bagaimana agar para anggota punya semangat untuk menjalankan roda pergerakan Rumaka. Sebagai pemred Jurnal Rumaka, saya lantas menganggas penerbitan buku daring Rumaka Book Review (RBR) edisi I tahun 2019. Dalam proses penyusunannya, saya sangat terbantu oleh Munawir. Anggota baru SC Rumaka yang bergabung sesaat sebelum Rumaka tertidur untuk waktu yang belum bisa saya perkirakan.

Segera setelah publikasi pertama itu terbit, saya lantas memajangnya di laman Rumaka Store. Tujuannya sebagai pembuktian realisasi ide dan rancangan saya. Realisasi yang saya harapkan bisa memacu derap jantung Rumaka yang kian melambat. Sangat disayangkan, semua itu justru berkebalikan dengan apa yang saya harapkan. Saya menyerah dan memilih untuk menggantungkan segala sesuatunya pada waktu.

Hingga perlahan saya sadari Rumaka mulai beranjak vakum pada awal bulan Januari tahun 2020. Liburan semester yang sedemikian panjang, membuat kami lalai untuk menghidupi Rumaka. Mayoritas anggota, termasuk saya, mulai dihadapkan dengan urusan akademik. Sejak saat itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan Rumaka dikelola langsung oleh Iwan. Meski sangat disayangkan, pada akhirnya Iwan pun meletakkan tanggung jawab tersebut.

Dalam hal ini, saya tidak menyalahkan siapapun. Apalagi menyalahkan Iwan yang pada akhirnya dituntut untuk memikul segala sesuatunya sendirian. Saya paham hal itu sangat berat bagi Iwan. Sebab, sedari awal roda organisasi Rumaka dijalankan dengan asas gotong royong. Baik dalam pendirian maupun proses perjalanannya.

Hanya yang menarik adalah pasca itu Rumaka bertransformasi menjadi Rumaka dalam bentuk lain. Yakni kumpulan mahasiswa yang menyatakan diri sebagai keluarga dengan rupa kawan sepermainan. Sebagian besar orang telah pergi. Satu orang lagi datang. Ia adalah Heni, seorang teman kuliah yang kini telah kami anggap sebagai keluarga.

Perubahan ini sekaligus mengakhiri segala hal yang berkaitan dengan Rumaka sebagai studi club. Tidak ada lagi tradisi intelektual seperti membaca dan berdiskusi. Segala hal yang berkaitan dengan tradisi intelektual semacam itu diserahkan kepada masing-masing pribadi. Meski belum dinyatakan secara resmi, kondisi yang demikian ini menggambarkan bahwa Rumaka telah mati. Kendati demikian, saya merasa cukup senang karena nampaknya Rumaka telah memberi pelajaran penting bagi segenap anggotanya.

Iwan misalnya, ia sekarang telah menjadi aktivis lingkungan yang konsen terhadap isu-isu ekologis. Selain Iwan, ada juga Munawir yang mulai menggagas gerakan literasi melalui Perpustakaan Jalanan Lintas Pena di Jakarta. Fathin yang sempat menjadi editorial penerbit, dan Bayu yang kini sedang menggarap lapak buku. Ada juga mayoritas anggota dengan berbagai fokus dan capaiannya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Mereka adalah pion yang dulu pernah membesarkan Rumaka.

Kesimpulan penting yang bisa saya tarik dari napak tilas perjalanan Rumaka adalah bahwa merintis sebuah organisasi bukan perkara remeh-temeh. Dibutuhkan kesadaran atas tanggung jawab dan komitmen dari para anggota untuk terus mengatasi persoalan-persoalan internal. Sementara hal-hal tersebut tidak bisa dipaksakan hanya melalui nota kesepahaman di warung kopi. Sebagaimana yang kerap dilakukan di internal Rumah Mahasiswa Merdeka.

Organisasi ideal, dalam gambaran saya adalah organisasi yang terorganisir dengan baik melalui hal-hal yang sifatnya programatik. Untuk mencapainya sebuah organisasi tidak bisa hanya bergantung pada mekanisme yang terlampau lentur dan spontan. Dibutuhkan semacam pakem-pakem yang kelak dijadikan sebagai landasan gerak organisasi. Maupun sarana pembentukan orientasi para anggota yang bergiat di dalam organisasi tersebut.

Singkatnya, sebuah organisasi ideal memerlukan visi dan misi yang hendak dicapai. Keseluruhan itu, musti dirumuskan, digodok, dan dituangkan dalam bentuk AD/ART untuk dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab oleh segenap anggota. Absennya Rumaka terhadap hal-hal mendasar semacam ini menurut saya, dominan menyebabkan mayoritas anggotanya mengalami disorientasi. Ketiadaan elemen tersebut juga tak jarang menyebabkan Rumaka kebingungan dalam mengartikulasikan skema pendidikan yang tepat bagi para anggotanya. Padahal sarana pembentukan militansi melalui proses pendidikan yang tepat macam ini, sangat penting bagi sebuah organisasi kader seperti Rumaka.

Dalam beberapa kesempatan saya sering melemparkan ide tersebut kepada para anggota melalui forum formal dan informal. Terutama ide mengenai perumusan visi misi ke dalam AD/ART dan kurikulum pendidikan bagi para anggota. Sayangnya usulan itu justru berakhir dengan tanggapan, misalnya “terlalu otoritarian”, “terlalu muluk-muluk”, dst. Hingga saya mulai putus asa untuk mengajukannya lagi.

Meski begitu, ada saat di mana saya merasa gagasan saya tersebut akan menuai titik terangnya. Adalah bulan Oktober 2019 lalu, di mana Rumaka mendapat kunjungan dari beberapa ketua studi club yang ada di Yogyakarta. Dalam pertemuan itu, dihasilkan beberapa kesepakatan. Salah satunya mengenai upgrading bagi para anggota studi club yang ada di berbagai daerah. Namun sayang hingga tulisan ini saya buat, rencana tersebut belum juga terealisasi.

Alhasil saya harus menerima kenyataan bahwa Rumaka sebagai organisasi telah gagal. Memang ada obrolan dari beberapa anggota mengenai anasir mereka atas matinya Rumaka, berikut dengan alternatif yang mereka ajukan. Namun setelah saya timbang-timbang, berbagai anasir serta alternatif itu hanya sebatas merujuk pada kegiatan dari lembaga otonom Rumaka. Alih-alih menyentuh problem utama yang harus kami tuntaskan secara bersama-sama. “Pepesan kosong”, demikianlah gambaran yang paling pas untuk menyimpulkan pandangan-pandangan itu.

Berangkat dari anggapan itu, pada 23 Oktober 2020 lalu saya sebagai pemred Jurnal Rumaka lantas menggagas ide untuk menerbitkan tema tulisan baru. Temanya sederhana : refleksi dan otokritik terhadap gerakan Rumaka selama satu tahun terakhir. Adapun tenggat waktu pengumpulan yang disepakati ialah 23 Oktober sampai 23 November 2020. Namun seperti yang sudah saya duga, tak ada satu pun tulisan yang masuk sampai hari ini.

Gagasan tentang ‘rumah’ memanglah pelik. Sebagaimana gambaran soal rumah, ia adalah ruang di mana berbagai masalah dan ide diartikulasikan secara bersama dengan  berani. Sebab ‘rumah’ identik dengan anggota keluarga. Modal utama itu membuat saya menulis otokritik tajam terhadap Rumaka. Tujuannya hanya satu, yakni demi kebaikan Rumaka ke depannya.

Pasalnya sampai hari ini saya belum menganggap Rumaka telah gagal sebagai gagasan. Dan karenanya saya ingin menguji sejauh mana gagasan ini mampu dihidupkan kembali sebagaimana relevansi antara teori dan praktik. Sebuah praktik akan menghasilkan teori, demikian halnya dengan pemahaman bahwa teori akan punya relevansi jika diuji melalui praktik. Dalam rentang satu tahun ke belakang, Rumaka telah bereksperimen melalui praktik terutama spontanitas gerakan. Dari berbagai praktik yang ada ditemukan berbagai anasir dan alternatif yang ditujukan untuk mengoreksi kelemahan-kelemahan praktik tersebut.

Bertolak dari pembacaan saya di atas, saya melihat kelemahan Rumaka ada pada corak gerakannya yang spontan dan tidak terarah. Oleh sebab itu, saya mengajukan alternatif berupa Kongres Rumaka untuk memutuskan terkait AD/ART dan skema pendidikan yang ditujukan bagi para anggotanya. Dengan demikian harapan saya Rumaka bisa kembali dihidupkan kembali. Bahkan, melampaui apa yang sudah tertulis dalam hukum besi sejarah.

Terlebih jika diamati, situasi nasional sampai hari ini belum menunjukkan tanda-tanda akan membaik. Bahkan, kian memburuk lantaran kapitalisme terus memproduksi ketidaksetaraan akses ekonomi yang pada akhirnya menyebabkan ketidaksetaraan akses terhadap politik. Pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja oleh pemerintah bersama DPR RI yang nyata-nyata mengabaikan aspirasi penolakan rakyat beberapa waktu lalu adalah puncaknya. Di mana, fenomena tersebut makin menunjukkan bahwa rupa kekuasaan tengah beranjak menuju kekuasaan berwatak oligopolistik. Corak kekuasaan semacam ini jelas akan terus mengeleminasi kepentingan-kepentingan rakyat.

Dalam situasi semacam ini, matinya satu gerakan politik yang terorganisir merupakan hal ihwal yang patut untuk disayangkan. Apalagi gerakan politik yang mengusahakan demokratisasi ekonomi-politik melalui visi merdeka 100% seperti Rumaka. Kematiannya ini jelas akan berpengaruh pada elemen gerakan yang berlandaskan visi yang sama. Karena itu, melalui tulisan ini saya sangat berharap agar Rumaka bisa dibangkitkan kembali dari tidur panjangnya.

Demikian tulisan ini saya tutup untuk kemudian ditindaklanjuti. Ke depan jalanan masih akan terus terjal, maka perjuangan harus terus berlanjut.***


*CATATAN ini murni didedikasikan untuk memperingati Hari Ulang Tahun Rumaka ke-1 pada 04 April 2020 lalu. Tulisan ini juga dimuat di laman Medium milik penulis.