
Kredit Foto : The Gecko Project
Tanah Ibu Kami merupakan film dokumenter karya jurnalis Febriana Firdaus yang berhasil diluncurkan lewat kerja sama antara The Gecko Project dan Mongabay Indonesia. Seperti film dokumenter pada umumnya, film dengan judul bahasa Inggris ‘Our Mothers Land’ ini merupakan film yang menawarkan potret masyarakat akar rumput. Terutama dalam perjuangan melawan praktik penghancuran lingkungan hidup. Secara keseluruhan, film ini berisi sesi wawancara antara Febriana Firdaus bersama para narasumber yang telah menginspirasinya dalam pembuatan film ini. Mereka adalah sembilan Kartini Kendeng, Aleta Baun, Eva Bande, dan Farwiza Farhan.
Masing-masing narasumber berasal dari provinsi yang berbeda. Yakni, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tengah, dan terakhir, Aceh. Kendati berbeda letak geografis, mereka tetap memiliki kesadaran yang sama dalam hal pentingnya menjaga kelangsungan lingkungan hidup. Hal ikhwal yang pada akhirnya membuat mereka tergerak untuk memimpin gerakan sosial melawan praktik penghancuran lingkungan oleh pihak korporasi yang difasilitasi negara.
Sembilan Kartini Kendeng misalnya, pada 2016 mereka sampai menyemen kakinya di depan istana negara sebagai aksi simbolik untuk menentang pembangunan pabrik semen yang akan merusak kelestarian pegunungan Kendeng. Gerakan yang tidak jauh berbeda juga dilakukan oleh para perempuan NTT yang diorganisir Aleta Baun, di mana mereka melakukan gerakan menenun untuk melawan perusahaan tambang pada dekade 1990-2000an. Eva Bande mengorganisir para petani untuk melawan korporasi sawit. Sementara Farwiza Farhan diketahui juga aktif mengadvokasi kasus perusakan hutan di Aceh yang dilakukan oleh korporasi-korporasi raksasa.
Sayangnya perjuangan itu tidak sepenuhnya mulus. Sebagian besar dari perjuangan itu justru dibalas dengan kekerasan. Baik yang dilakukan oleh aparat negara, maupun preman bayaran.
Pada tahun 2014, para perempuan Kendeng penolak pabrik semen direpresi oleh aparat gabungan. Lodia Oematan bahkan harus sakit berat karena terkena pukulan dan injakan saat demo melawan perusahaan tambang. Eva Bande harus dipenjara lantaran aktivitasnya dalam mengorganisir para petani untuk melawan ekspansi perusahaan sawit. Rekan Eva, Yu Patmi musti kehilangan anaknya yang bernama Nuril setelah ia dijemput paksa oleh pihak kepolisian.
Dari cerita yang dituturkan para narasumber, nampak mereka mengalami trauma mendalam atas kejadian-kejadian tersebut. Yu Patmi, rekan Eva Bande bahkan sampai menitikkan air mata setiap kali ia berusaha mengingat kejadian di mana anaknya dijemput paksa oleh aparat kepolisian. Hal tersebut juga tergambar dari wajah Lodia Oematan ketika ia berusaha menceritakan pengalaman ketika ia sakit keras karena dipukul dan diinjak oleh preman bayaran.
Baca Juga : Little Princess, Connor Grenan
Raut sedih juga tergambar dari wajah para Kartini Kendeng tatkala mereka mengingat masa di mana mereka harus kehilangan mendiang Yu Patmi setelah melakukan aksi mengecor kaki di depan istana negara. Kepiluan demi kepiluan itu terekam dalam keseluruhan isi film dan ditutup dengan sesi wawancara Presiden Jokowi bersama BBC saat ia terpilih pada periode kedua. Hingga tulisan ini dibuat, film ini sudah ditonton oleh 26.000 orang dan telah ditayangkan secara perdana oleh Ubud Writers Festival.
Tinjauan
Dalam hemat saya, film ini memuat pesan utama bahwa tidak selamanya kesadaran perempuan harus bergantung pada kaum laki-laki. Para tokoh dalam film ini telah membuktikan hal tersebut. Sebagai perempuan, mereka juga bisa berada di garda depan perjuangan melawan praktik penghancuran lingkungan hidup. Kendati perjuangan tersebut harus menyisakan beban traumatis bagi kehidupan mereka.
Selain pesan, hal menarik lainnya adalah bagaimana hubungan antara kebudayaan, perempuan, dan alam digambarkan dengan begitu apik oleh film ini. Terutama dari cerita-cerita yang dituturkan oleh Mama Aleta Baun dan sembilan Kartini Kendeng. Dalam kajian ilmu sosial, hubungan antara kebudayaan, perempuan, dan alam ini turut menjadi perhatian tersendiri bagi studi-studi ekofeminisme.
Ekofeminisme berakar dari dua kata “ekologi” dan “feminisme”. Ia tak lain merupakan varian dari feminisme yang berfokus pada upaya pelestarian alam demi keberlangsungan hidup. Shiva dan Mies berpendapat, ekofeminisme mengacu pada keterkaitan dan integritas dari semua makhluk hidup dan gerakan ini diidentifikasi sebagai gerakan perempuan. Dalam sejarahnya, istilah ekofeminis pertama kali diidentifikasi melalui karya Fraicois d’ Eaubone dalam karyanya Le Feminisme ou la Mort (1974). Lewat karyanya itu, Fraicois menyatakan bahwa kerusakan alam dan opresi terhadap perempuan memiliki keterkaitan satu sama lain (Tong, 1998).
Dalam studi ekofeminisme, praktik perusakan alam alam dihubungkan dengan dominasi kaum laki-laki atas perempuan — sebagaimana tergambar dalam kultur masyarakat patriarkal. Oleh sebab itu, ekofeminisme memusatkan perhatian pada hubungan antara perempuan dan alam. Hubungan antara perempuan dan alam dihubungkan dengan sifat-sifat perempuan seperti mengandung, merawat, dan mengasuh. Pandangan ini bisa dijumpai dalam karya para ekofeminis, seperti Daly dan Griffin.
Pendasaran mengenai hubungan antara perempuan dan alam, sebagaimana dijelaskan oleh para teoretisi ekofeminis, pada akhirnya melahirkan varian pemikiran ekofeminis. Mengutip artikel karya Wawat Rahwati yang dimuat Japanese Research on Linguisctics, Literate and Culture — saat ini ada dua varian pemikiran ekofeminisme. Yakni, ekofeminisme sosial dan ekofeminisme kultural. Ekofeminisme sosial (social ecofeminism) memfokuskan perhatian pada isu-isu ekologi. Sementara ekofeminisme cultural (cultural ecofeminism) lebih memusatkan perhatian pada dimensi spiritual sebagai pijakan pemikirannya.
Jika diamati secara seksama, film ‘Ibu Tanah Kami’ karya Febriana Firdaus lebih mengacu pada kajian ekofeminisme kultural (cultural ecofeminism). Hal itu bisa diamati dari muatan yang dominan menjelaskan tentang hubungan antara perempuan, alam, dan kebudayaan. Baik lewat pernyataan mama Aleta Baun, maupun penggunaan istilah Ibu Bumi (Mother Earth) oleh Kartini Kendeng dan Farwiza Farhan.
Baca Juga : Bahaya ‘Laten’ Makanan Cepat Saji
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, ekofeminisme kultural (cultural ecofeminism) memusatkan perhatian pada hubungan kebudayaan perempuan dengan spiritualisme yang mementingkan alam, sisi kejiwaan, dan roh manusia. Dalam hal ini, bumi digambarkan sebagai yang kudus (Sacred) dan pemelihara layaknya seorang ibu (Gaia). Gaia dalam bahasa Yunani klasik mengacu pada nama Tuhan atau Dewi yang disebut Goddes Mother Earth (lih Cox: 1998 : Eisler, 1994). Sementara dalam konteks sosio-hostorisya, peradaban Yunani kala itu mempercayai bahwa perwujudan ‘Gaia’ ibarat bumi yang memberikan penghidupan pada setiap makhluk hidup melalui sumber daya alamnya.
Oleh kaum ekofeminis kultural (cultural ecofeminism), konsep ‘Gaia‘ memiliki kedekatan tersendiri dengan kaum perempuan, ketimbang kaum laki-laki. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh sifat alam dengan perempuan sebagai pemelihara kehidupan. Perempuan mengandung, melahirkan dan merawat kehidupan anaknya hingga dewasa. Sementara bumi pun sama, ia juga merupakan tempat untuk melahirkan seluruh kehidupan dan merawatnya melalui sumber-sumber daya alam yang dimilikinya. Hal ini sangat berbeda dengan ciri-ciri kaum laki-laki yang gemar mendominasi, menguasai dan mengeksploitasi. Baik terhadap perempuan, maupun terhadap alam.
Oleh sebab itu, ekofeminisme kultural (cultural ecofeminsm) dianggap sebagai alternatif untuk menjawab problem sosial ekologi melalui kebudayaan kaum perempuan. Hal itu bisa diamati dari aksi yang dilakukan oleh sembilan Kartini Kendeng, maupun gerakan yang diorganisir Mama Aleta Baun. Sembilan Kartini Kendeng merasa perlu untuk berada di garda depan perjuangan melawan pabrik semen, demi menunjukkan budaya anti-kekerasan yang tidak dianut kaum perempuan, sebagaimana kaum laki-laki. Mama Aleta Baun mengorganisir 150 perempuan desa untuk melakukan pendudukan dengan aksi menenun serentak di lokasi-lokasi tambang marmer. Masing-masing aksi tersebut bisa dikategorikan sebagai kebudayaan kaum perempuan dalam melawan praktik penghancuran lingkungan hidup.
Muatan-muatan semacam, membuat film ‘Ibu Tanah Kami’ tidak cukup hanya ditonton saja. Melainkan juga didiskusikan oleh gerakan sosial yang berfokus pada isu-isu lingkungan. Dalam hal ini, saya sepenuhnya sepakat dengan pandangan Farwiza Farhan yang menyebut perjuangan para perempuan yang ada dalam film ini harus terus diamplifikasi. Dalam konteks gerakan, film ini memungkinkan keterlibatan yang lebih luas dari kaum perempuan untuk menyelamatkan lingkungan hidup dari ancaman kerusakan. Sementara dalam kajian ilmu sosial, perjuangan para tokoh berpotensi memperluas khazanah ilmu pengetahuan, terutama mengenai studi ekofeminisme di Indonesia.
***
*FILM Ibu Tanah Kami bisa ditonton selengkapnya DI SINI.
Rujukan:
1. Rahwati, Wawat. “Pemerian Alam Sebagai Simbol Feminitas dalam Novel Hana wo Hakobu Imouto”. Japanese Ressearch on Linguisctics, Literature, and Culture Vol. 1 No. 1 (2018) : 28-47.
https://publikasi.dinus.ac.id/index.php/jrllc/article/view/2097/1380
2. Tong, R. (1998). “Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Arus Utama
Pemikiran Feminis”. Bandung: Jalasutra.
3. Cox, C. (1998). “Ecofeminism. In G. Kirkup & L. S. Keller (Eds.), Inventing Women: Science,
Technology, and Gender” (pp. 284–291). United Kingdom: Polity Press.
4. Eisler, R. (1994). “Gaia no Dentou to Kyousei no Mirai”. Tokyo: Gakuseishourin.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.