Little Princes, Connor Grennan

Potret Connor Grennan bersama anak-anak panti Little Princes. Foto dapat dijumpai di bagian tengah buku ini.

Kredit Foto : Dokumen Pribadi


Apa yang terlintas dalam benak Anda tatkala mendengar istilah backpacker? Bagi saya, gambaran tentang istilah yang satu ini terbilang cukup sederhana. Ia tak lain adalah julukan bagi kelas menengah yang hobi plesiran demi mendapat kepuasan pribadi. Karena kegiatannya sebatas plesiran, maka tempat-tempat yang biasa dikunjungi oleh para backpacker adalah situs-situs pariwisata. Mulai dari situs yang menyajikan keindahan, sampai situs yang menyediakan ruang bagi para backpacker untuk beristirahat sejenak dari banalitas kehidupan harian.

Connor Grennan, selaku penulis buku ini, juga merupakan seorang backpacker. Little Princes tak lain adalah buku yang berisi kisah perjalanannya di Nepal. Buku ini terdiri dari sembilan bab, dengan total 432 halaman. Buku tebal yang menarik untuk dibaca di tengah situasi pandemi yang mengharuskan agar Anda agar berhati-hati dalam berpergian. Tak seperti karya tulis backpacker pada umumnya, buku karyanya ini berisi tentang kisah heroik penyelamatan anak-anak korban perdagangan di Nepal. Saking heroiknya kisah itu, buku Little Princes karya Connor Grennan ini pernah mendapat penghargaan dari Goodreads dengan kategori ‘Best Travell and Outdoor’, pada tahun 2011.

Kisah petualangan Connor Grennan dalam buku Little Princes dimulai dengan narasi keterasingan ala kelas menengah pada umumnya. Narasi keterasingan hidup yang hanya diisi oleh kerja dan kerja. Delapan tahun Connor menghabiskan hidupnya dengan bekerja di East West Institute, sebuah organisasi yang konsen terhadap kebijakan internasional. Namun sayangnya, di tahun kedelapan itu pula, Connor mulai merasa bosan dengan pekerjaan itu. Lebih lanjut, ia berencana membuat perubahan radikal dalam hidupnya. Perubahan itu ia mulai dengan rencana mengelilingi dunia seorang diri dalam kurun waktu satu tahun lamanya.

Baca Juga : Bahaya ‘Laten’ Makanan Cepat Saji

Connor memilih Nepal sebagai tujuan pertamanya. Namun alih-alih sekedar plesiran seperti mendaki Gunung Everest, menikmati bangunan Paviliun Anasambel di Garden of Dreams, atau menikmati indahnya Phew Lake — Connor justru memilih untuk menjadi sukarelawan di sebuah panti asuhan. Panti asuhan itu bernama Little Princes. Nama yang kemudian ia jadikan sebagai judul buku ini. Konon, nama panti ini terinspirasi dari novel karya Antonie de Saint-Exupery yang berjudul Le Petit Prince.

Connor, bukan seorang backpacker biasa. Cukup menyenangkan kala membaca bagian buku yang mengisahkan bagaimana ia beradaptasi dengan lingkungan terbarunya di Nepal. Terutama saat Connor belajar cara bertutur sapa ala masyarakat Nepal, beradaptasi untuk memakan Daal Baht (makanan pokok masyarakat Nepal) , memusingkan cara penggunaan WC duduk, atau ketika ia berinteraksi dengan anak-anak panti asuhan Little Princes. Saking menyenangkannya, sampai-sampai membuat saya cekikikan kala membacanya.

Akan tetapi, semua itu terasa cukup singkat. Situasi menyenangkan perlahan berubah menjadi situasi yang mencekam kala Connor memberikan gambaran singkat tentang perang sipil yang ada di Nepal. Cerita tentang perang sipil dimulai ketika kelompok Maois mengadakan aksi mogok nasional untuk menentang pemerintahan monarki.

Perang merupakan pilihan yang buruk. Dalam konteks perang sipil di Nepal, perang tidak hanya menguras tenaga, harta, dan nyawa dari pihak-pihak yang bersengketa. Melainkan juga menyuburkan praktik penculikan anak. Banyak anak-anak Nepal yang hilang kala itu. Dan saat ditemukan, ternyata mereka telah dijual untuk dipekerjakan menjadi pembantu rumah tangga, atau dipekerjakan menjadi tentara perang dari kelompok Maois.

Dalam hal ini, Connor tidak bisa berbuat banyak. Ia merupakan warga asli Amerika Serikat. Di saat perang sipil Nepal, Amerika Serikat merupakan negara adidaya yang turut andil dalam menyokong pemerintah monarki Nepal untuk mempertahankan status quo-nya. Sokongan ini tak lain adalah bentuk upaya Amerika Serikat untuk mempertahankan hegemoni globalnya, di satu sisi untuk memerangi ancaman tegaknya komunisme di Nepal.

Kendati telah mengetahui jika status kewargaannya berpotensi menghadirkan selusin ancaman bagi dirinya sendiri, Connor tetap berambisi untuk menyelamatkan anak-anak korban penculikan. Ambisi itu dilatarbelakangi oleh fakta di lapangan, bahwa masing-masing pihak yang bersengketa tak pernah memikirkan nasib anak-anak yang hilang. Dan makin menguat, ketika ia mendapat kabar bahwa tujuh anak asuhnya telah menjadi korban jual beli anak.

Kabar itu ia dapat, kala ia sedang kembali ke kampung halamannya di Amerika Serikat. Di sinilah perubahan radikal dalam kehidupan Connor baru saja ia mulai. Mendengar kabar itu, ia memutuskan untuk terlibat dalam misi penyelamatan anak-anak korban perdagangan. Baik yang menimpa ketujuh anak asuhnya, maupun anak-anak Nepal yang masih hilang dan belum diketahui nasibnya. Mengetahui bahwa perjuangannya ini tidak akan mudah, Connor aktif menggalang bantuan. Bahkan ia juga sibuk membangun relasi yang nantinya akan diorentasikan pada pendirian sebuah organisasi penyelamatan anak.

Setelah semua usahanya dirasa cukup, Connor kembali ke Nepal. Sekembalinya ia ke Nepal, perang sipil telah dimenangkan oleh kelompok Maois. Pemerintahan monarki telah runtuh, diganti dengan pemerintahan republik. Namun perubahan besar itu, tak semerta-merta membuat otoritas Nepal untuk perduli terhadap nasib anak-anak korban penculikan di era perang sipil. Masih banyak anak-anak yang hilang. Sementara pemerintah republik tak kunjung membuat kebijakan untuk mencari anak-anak korban penculikan. Sindikat perdangangan anak yang dipimpin oleh Golka, tetap bisa beroperasi seperti di era perang.

Di titik ini, Connor memulai agenda advokasinya. Ia mula-mula menggaet Kepala Kesejahteraan Anak Nepal, Gyan untuk melancarkan agendanya. Tidak hanya itu. Connor bahkan bekerja sama dengan UNICEF dan Umbrella Foundation. Melalui usaha-usahanya itu, ketujuh anak asuhnya yang hilang berhasil ditemukan oleh Gyan. Saat ditemukan kondisi mereka sangat memprihatinkan. Ada yang sudah dijual untuk dipekerjakan menjadi pembantu oleh pemerintahan setempat, ada juga yang ditemukan dalam keadaan kurang gizi akut.

Connor semakin tenggelam dalam misinya. Setelah ketujuh anak telah diketemukan dan diasuh oleh panti asuhan milik Umbrella Foundation — Connor berencana mencari orang tua dari anak-anak yang di asuhnya. Baik anak-anak yang ada di panti asuhan milik Umbrella Foundation, maupun anak-anak yang ada di panti asuhan Little Princes. Rencana ini dilakukannya secara diam-diam. Ia hanya mengabarkannya kepada rekan terdekatnya saja, tujuannya agar informasi ini jangan sampai bocor dan diketahui oleh jaringan perdagangan anak.

Perjuangan itu digambarkan sangat berat oleh Connor di bagian akhir buku. Sebab, menurut informasi yang ia kumpulkan, mayoritas orang tua dari anak-anak yang diasuhnya berasal dari Humla. Sebuah tempat terpencil di bagian barat Nepal. Untuk mencapai pemukiman yang dihuni oleh orang tua para anak asuhnya di Nepal, Connor harus rela berjalan kaki selama berhari-hari dari bandara. Melewati medan pegunungan yang cukup sulit dan ancaman dari kelompok Maois.

Suasana menegangkan mengiringi perjalanan Connor dalam misinya kali ini. Namun, perjuangan itu terbayar tatkala ia menemukan satu persatu orang tua dari anak-anak asuhnya. Situasi mendadak berubah menjadi haru dan penuh emosi, saat Connor mengisahkan bahwa penyerahan anak-anak oleh orang tua mereka kepada sindikat perdagangan anak — dilatarbelakangi oleh iming-iming bahwa anak mereka akan disekolahkan dan dirawat di kota.

Sepulangnya dari Humla, Connor lantas mengunjungi panti di mana anak-anaknya diasuh. Kepada anak asuhnya, Connor menceritakan kabar terkini orang tua dari anak-anak itu. Tidak terkecuali, bagaimana gambaran respon bahagia bercampur haru dari para orang tua ketika mengetahui bahwa anak-anak mereka masih hidup dan sejahtera. Mayoritas anak-anak itu senang. Akan tetapi ada juga yang sedih lantaran mengetahui bahwa orang tua mereka ternyata sudah meninggal.

Setelah peristiwa itu, Connor mendirikan sebuah panti bernama Next Generation Nepal (NGN). Sampai sekarang, panti ini masih beroperasi. Fokusnya tak lain adalah untuk menyelamatkan anak-anak korban perdagangan di Nepal. Catatan jurnalistik karya Connor ditutup dengan kisah cinta antara dirinya dengan Liz. Mereka menikah tak lama setelah itu. Sementara anak-anak dewasa di Little Princes, banyak yang sudah kembali ke kampung halamannya di Humla. Membangun desa tercinta dengan pengetahuan yang mereka dapat dari kota.

Baca Juga : The Sun Also Rises, Ernest Hemingway

Dengan membaca catatan-catatan Connor Grennan dalam buku Little Princes, saya jadi tidak berani untuk memukul rata aktivitas backpackeran, sebagai hobi yang negatif. Contoh seperti yang ditulis oleh kawan Renaldo Gabriel di Vice. Memang dalam kasus kebanyakan, aktivitas yang satu ini patut menyandang kategori sebagai hobi negatif.

Selain di Bali seperti yang ditulis kawan Renaldo Gabriel, sisi negatif dari hobi yang satu ini juga terjadi di berbagai tempat. Salah satunya yang terjadi pada masyarakat Ranu Pani di lereng Gunung Semeru. Di mana hobi plesiran yang satu ini telah mengubah kebudayaan masyarakat yang semula bercorak agraris, lantaran menyandarkan kehidupan pada sektor pertanian — berubah menjadi masyarakat pariwisata yang lebih modern dengan menyandarkan hidup pada sektor pariwisata. Gambaran peralihan masyarakat ini, saya jumpai pertama kalinya lewat film dokumenter besutan Dandhy Laksono, ‘Surga Kentang Ranu Pani’ yang diproduksi oleh Watchdoc Ekspedisi Indonesia Biru.

Gambaran tentang sisi positif dari hobi plesiran yang satu ini, justru baru saya dapat melalui buku ini. Melalui catatan-catatan Connor Grennan dalam buku Little Princes, saya menangkap bahwa hal penting yang harus dimiliki oleh seorang backpacker adalah kepedulian dan keberanian. Peduli untuk melihat sebuah daerah dengan kacamata objektif dan berani untuk menyatakan sikap jika diperlukan. Dengan demikian mungkin perjalanan seorang backpacker akan jauh lebih bermakna. Bahkan, bisa membawa mereka pada perubahan-perubaham besar di hidupnya. Sebab jika hanya bermigrasi ke suatu tempat, hewan pun bisa melakukannya.

***


Kredit Foto : Bukalapak


Judul Buku : Little Princes

Penulis : Connor Grennan

Penerjemah : Eva Y. Nukman

Penerbit : Qanita

Tahun Terbit : 2015