Bahaya ‘Laten’ Makanan Cepat Saji

Kredit Ilustrasi : ArtsyCraftsyMom Art, Craft & DIY ideas. Karya-karyanya bisa dijumpai di sini.


Beberapa waktu lalu, kita menyaksikan betapa makanan cepat saji sangat melekat dengan kehidupan kelas menengah kota. Tak tanggung-tanggung, mereka bahkan rela berkumpul hanya untuk merayakan penutupan McD Sarinah di tengah situasi pandemi. Terlepas dari masalah yang berkaitan dengan situasi pandemi, fenomena tersebut sebetulnya memunculkan pertanyaan menarik. Mengapa masyarakat menengah kota begitu tertarik dengan makanan cepat saji? Mengapa mereka sampai mengorbankan diri hanya untuk menghadiri upacara penutupan restoran makanan cepat saji?

Buku ‘Dangerous Junk Food’ (2008) karya Reni Wulan Sari dan Muhammad Sapril nampaknya punya penjelasan yang cukup komprehensif mengenai fenomena tersebut. Buku ini tidak hanya menjawab hubungan historis antara masyarakat perkotaan dan makanan cepat saji semata. Lebih dari itu, buku ini menjabarkan konsekuensi yang lebih besar di balik budaya mengonsumsi makanan cepat saji oleh masyarakat kelas menengah kota. Penjelasan tersebut disajikan secara akademis dari dua sudut pandang ilmu pengetahuan. Yakni dari sudut pandang ilmu kesehatan dan ilmu sosial.

Pertama-tama, buku ini bertolak dari kenyataan bahwa konsumsi makanan cepat saji sudah membudaya di kalangan masyarakat. Budaya konsumsi makanan cepat saji oleh masyarakat kelas menengah kota, bukanlah budaya yang ujug-ujug ada, atau terberi. Budaya ini berasal dari sejarah peralihan masyarakat dan tetap eksis hingga saat ini lantaran ditopang oleh kekuatan ekonomi-sosial.

Baca Juga : Ketika Matahari Benar-Benar Terbit

Makanan cepat saji muncul pertama kali di Amerika Serikat pada abad ke-19. Ketika itu, tengah terjadi peralihan masyarakat dari masyarakat agraris, menuju masyarakat industri. Peralihan ini menyebabkan pergeseran dalam berbagai aspek, tidak terkecuali, budaya konsumsi. Pola masyarakat industri yang dikenal padat rutinitas dengan jam istirahat yang terbatas, telah memunculkan makanan cepat saji sebagai alternatif.

Mulanya, fast food yang ada pada saat itu hanya sebatas snack dan dijual di kios-kios. Namun memasuki abad ke-20, jenis makanan fast food semakin beragam. Bersamaan dengan itu, muncul berbagai restoran fast food di abad ke-20 didukung oleh era waralaba (franchise) yang terjadi pada dekade 1950-an. Sejak saat itu, bisnis makanan cepat saji (fast food) kian bertaji.

Terbukti, cukup mudah untuk menemukan restoran makanan cepat saji di kota-kota besar. Mulai dari restoran makanan yang masuk dalam kategori lokal, hingga multinasional. Fenomena ini secara tidak langsung menjelaskan jika telah terjadi pergeseran modus produksi makanan cepat saji. Makanan cepat saji yang semula dianggap sebagai alternatif, kini menjadi bisnis komoditas paling menggiurkan.

Hal itu membuat industri makanan cepat saji semakin terpelosok ke dalam jurang komersialisasi. Ketika itu terjadi, maka kepentingan ekonomi yang bersifat ekspansif akan lebih diperhatikan. Sementara kandungan gizi yang ada di dalam makanan makin dikesampingkan. Kandungan gizi dalam makanan akan terus dikurangi — seiring dengan ambisi untuk menjaga pasar dan mengeruk keuntungan yang dilakukan oleh para pelaku industri makanan cepat saji.

Produk makanan cepat saji yang lahir dari corak seperti ini disebut makanan sampah, atau junk food. Singkatnya, makanan sampah atau junk food adalah makanan cepat saji yang rendah gizi dan beresiko ketika dikonsumsi. Sebab dengan mengonsumsi junk food, seseorang berpotensi terjangkit penyakit-penyakit mematikan. Sebut saja seperti obesitas, hipertensi, diabetes, stroke, kanker, hingga jantung koroner.

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, bahaya mengkonsumsi junk food bagi kesehatan mulai disadari oleh masyarakat. Alih-alih menjadi ancaman. Kesadaran ini tak berdampak signifikan pada peredaran junk food. Jenis makanan yang satu ini tetap eksis lantaran ditopang oleh kebiasaan masyarakat untuk mengonsumsi makanan cepat saji.

Sementara itu, kebiasaan masyarakat untuk mengonsumsi makanan cepat saji sangat sulit untuk dihentikan. Selain karena makanan saji sudah dianggap sebagai alternatif, kebiasaan ini terus dipertahankan oleh industri makanan cepat saji dengan mendominasi sektor yang ada di masyarakat. Buku ini mengambil contoh upaya dominasi yang dilakukan oleh salah satu restoran makanan cepat saji ternama di dunia: McDonalds. Sosiolog George Ritzer (1993) menjelaskan bahwa dominannya McDonalds dalam kehidupan masyarakat modern, disebabkan oleh adanya pola McDonaldsisasi. Atau upaya McDonald’s untuk mendominasi sektor masyarakat di berbagai sektor, seperti bisnis restoran, seks, agama, dunia kerja, biro periklanan, program diet, keluarga, dan lain sebagainnya.

Menurut Ritzer, pola McDonaldisasi  terdiri atas empat prinsip kerja. Pertama, McDonald’s menawarkan efisiensi berupa cara-cara terbaik untuk mengubah rasa lapar menjadi kenyang. Kedua, McDonald’s menawarkan makanan yang terkuantifikasi dan terkalkulasi. Ketiga, McDonald’s menawarkan kepada publik keterprediksian mengenai makanan yang disukai konsumennya. Keempat, McDonald’s menawarkan kontrol ruang agar pelanggannya bisa makan dengan cepat dan pergi.

Keempat prinsip dijalankan dengan tak kasat mata. Diterima begitu saja tanpa pernah ditanyakan secara kritis oleh masyarakat. Alhasil pengaruh industri makanan cepat saji makin menguat. Pada gilirannya, dominasi sektor kehidupan masyarakat akan menimbulkan masalah yang lebih serius.

Dominannya makanan cepat saji di kalangan masyarakat, mengakibatkan budaya makan hanya dimaknai hanya sebatas aktivitas mengisi perut. Alhasil, masyarakat semakin abai terhadap kandungan gizi yang ada dalam makanan, berikut resiko ketika mengonsumsinya. Di sektor kuliner juga demikian. Dominannya
makanan cepat saji di masyarakat, perlahan mengancam keanekaragaman makanan yang ada di masyarakat. Produk makanan yang ada di masyarakat akan semakin didominasi oleh jenis makanan cepat saji.

Ketika itu terjadi, para petani dan peternak selaku pemasok bahan mentah akan dipaksa untuk menerapkan sistem monokultur. Atau sistem yang mengharuskan pembudidayaan jenis tumbuhan dan hewan tertentu. Para petani dan peternak akan dipaksa bersaing untuk menjadi pemasok bahan mentah bagi industri makanan cepat saji. Tunduknya sektor pertanian dan perternakan oleh permintaan industri makanan cepat saji, menyebabkan sektor ini rentan menggunakan berbagai cara untuk mendopleng sektor produktivitasnya. Termasuk penggunaan zat kimia berbahaya hingga rekayasa genetik (hlm.116).

Buku ‘Dangerous Junk Food’ (2008) karya Reni Wulan Sari dan Muhammad Sapril ini adalah buku yang menusuk jantung masyarakat modern. Selain menunjukkan hubungan historis antara masyarakat industri dan makanan cepat saji, buku ini juga mengelaborasi lebih lanjut mengenai dampak yang dihasilkan dari dominannya peran industri makanan cepat saji di sektor masyarakat. Kekuatan buku ini terletak pada kemampuannya untuk menunjukkan di mana letak irasionalitas masyarakat modern. Terutama jika dilihat dari gaya hidup mereka.

Baca Juga : Mengeksplorasi Ide Perubahan Sosial Para Pesohor Dunia

Bertolak dari kenyataan itu, buku ini mengajukan alternatif perubahan. Alternatif ini diwujudkan dalam bentuk panduan pola makan sehat. Panduan ini dimulai dengan meresonansi ulang gagasan pemerintah tentang pola makan sehat sejak tahun 1955 : empat sehat lima sempurna. Gagasan ini ditulis ulang dengan memberi penjelasan lebih lanjut mengenai pentingnya mengonsumsi makanan empat sehat lima sempurna dari sudut pandang ilmu gizi.

Penjelasan tersebut dimuat dalam dua bab terakhir pada buku ini. Dalam bab ‘Halal dan Sehat’, penulis mengajukan jenis makanan yang halal dikonsumsi menurut aturan agama islam, berikut tinjauan dari sudut pandang ilmu gizi. Sementara dalam bab ‘Pesan Sehat’, penulis memberikan pesan ihwal kebiasaan hidup sehat sebagai penopang pola konsumsi sehat. Penjabarannya relatif mudah diterima lantaran diambil dari doktrin agama dan ilmu pengetahuan.

Sayangnya, yang luput dari penjabaran penulis adalah penjelasan mengenai pentingnya keterlibatan negara. Terkhusus keterlibatan negara dalam rangka membatasi laju konsumsi makanan cepat saji oleh masyarakat. Padahal di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, Norwegia dan Perancis, aturan mengenai pembatasan konsumsi makanan cepat saji sudah diberlakukan. Beberapa kebijakan tersebut juga telah terbukti efektif membentuk kultur masyarakat sehat. Di samping menekan timbulnya penyakit mematikan akibat pola konsumsi makanan cepat saji yang cenderung berlebihan.

***


Kredit Foto : www.shopee.co.id


Judul : Dangerous Junk Food

Tahun Terbit : Cetakan I, 2008

Penulis : Reni Wulan Sari M.Kes, dkk

Penerbit : O2

Tebal : viii+163 halaman

One comment