Review Zine ‘Kita Semua adalah Penyintas, Kita Semua adalah Pelaku’

Kredit Ilustrasi : https://magdalene.co


Oleh : Faris Fauzan Abdi


Diakui atau tidak, saat ini kita hidup dalam budaya perkosaan, atau rape culture. Kecenderungan ini terlihat dari maraknya kasus kekerasan seksual yang menyasar berbagai dimensi kehidupan sosial. Baik kekerasan seksual berdimensi privat (hubungan interpersonal), maupun publik (komunitas/publik).

Banyak publik menduga, budaya ini akan terus berlanjut dan mapan — selama tidak ada kerangka hukum yang spesifik mengatur delik kekerasan seksual. Sehingga, setiap orang bisa berpotensi menjadi pelaku (perpretator). Sebaliknya, setiap orang juga bisa berpotensi menjadi penyintas (survivor).

Zine ini berisi terjemahan dari artikel berjudul ‘We Are All Survivors, We Are All Perpretators‘ yang sebelumnya dimuat di kolektif anarkis bernama Chrimethinc. Ia hadir untuk menawarkan alternatif baru, alih-alih menawarkan penandasan terhadap solusi yang bersifat teknokratis — seperti Undang-Undang dan lain sebagainya.

Dengan menggunakan kacamata anarkisme, pertama-tama zine ini membongkar pengertian umum dari kekerasan seksual, menghindari kategorisasi dengan membongkar makna label ‘pelaku’ dan ‘penyintas’, serta menawarkan analisis terhadap hal yang paling dalam konteks kekerasan seksual : relasi.

Baca Juga : Into The Wild : Kisah Tragis Seorang Moralis

Melalui relasi, zine ini mencoba memusatkan perhatian pada pola komunikasi yang memungkinkan terjadinya kekerasan seksual. Zine ini menekankan penafsiran terhadap kekerasan seksual yang lebih luas; bahwa kekerasan berbasis seksual adalah kekerasan yang disebabkan oleh pelanggaran terhadap batas-batas kehidupan individu yang notabene terkategorisasi dalam identitas seks, atau jenis kelaminnya.

Ketika definisi ini digunakan, maka setiap orang bisa berpotensi sebagai ‘pelaku’ dan ‘penyintas’. Seorang ‘pelaku’ adalah mereka yang melanggar batas-batas kehidupan individu. Sementara, ‘penyintas’ adalah mereka yang batas-batas kehidupan individualnya telah dilanggar.

Ketika terjadi pelanggaran batas tersebut, maka langkah yang ditawarkan oleh zine ini adalah dengan memusatkan analisis pada pola komunikasi yang terjadi di antara keduanya. Ini bertujuan untuk menghindari penafsiran subjektif atas realitas yang objektif di antara kedua subjek yang ada dalam kasus kekerasan seksual.

Baca Juga : Review Zine NDASMU Vol. 7 : Agony

Setelah pengalaman tersusun secara objektif, baru lah seorang ‘pelaku’ maupun ‘penyintas’, seharusnya mengutarakan batas-batas akan sejauh mana relasi di antara keduanya sudah dilanggar dalam berbagai bentuk. Mulai dari pola komunikasi, dominasi pikiran, pemaksaan dan seterusnya. Sebab, perilaku- perilaku yang melanggar ‘consent’ atau persetujuan sekecil apapun adalah kekerasan.

Membaca zine ini, membuat saya pribadi enggan meremehkan kekerasan sekecil apapun yang mengarah pada kekerasan seksual yang lebih serius. Di satu sisi, membuat saya memahami sejauh mana saya bisa dilabeli ‘pelaku’ dan sebaliknya, ‘penyintas’ berikut dengan pelanggaran batas-batas yang sepele sampai yang paling serius.

Menariknya di halaman akhir zine ini, penyusun menyajikan artikel terjemahan yang diambil dari Philly’s Pissed yang berjudul ‘Apa Yang Dilakukan Ketika Seseorang Memberitahumu Bahwa Kamu Telah Melanggar Batasan Mereka?‘. Artikel ini adalah artikel yang berisi panduan tentang apa yang harus kita lakukan ketika kita telah melanggar batas-batas individu.

***


Informasi Zine :

Judul : Kita Semua adalah Penyintas, Kita Semua adalah Pelaku (terj)

Penyusun : Chimenthinc

Dirilis Oleh : Sangkakalam

Tahun Rilis :

*UNDUH dan baca zine ‘Kita Semua adalah Penyintas, Kita Semua adalah Pelaku’ melalui kolektif Bebaskan Buku DI SINI.

One comment